بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
MonZaeMon 69 - Sebentar lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram. Seperti kita
ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimanakah
pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram?
Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang
mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di
antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram
atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam
agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro),
merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram.
Lihatlah firman Allah
Ta’ala berikut.
”Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”
(QS. At Taubah: 36)
Ibnu
Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan
langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di
orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu
menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ
muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan
satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu
tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan
munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”
Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di
antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut
yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah)
Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]
Jadi
empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah;
(3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk
bulan haram.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan
haram ? Al Qodhi Abu Ya’la
rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan
haram karena dua makna.
Pertama
, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua,
pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih
ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut.
Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan
ketaatan.”[3]
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk
melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk
melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada
bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu
’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai
bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan
tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan
akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”
Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada
syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh
jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh
jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau
rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh
jalalah
’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut,
sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’
(keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di
sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan
adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang
menggunakan nama Islami.
Nama bulan ini sebelumnya adalah
Shofar Al Awwal.
Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah
yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah
seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa
tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian
bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada
sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang
disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan
demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka
tahun.”[7]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam
Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah
(bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau
rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini
diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam
setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah
atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan
bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]
Dengan
melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas,
jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan
istimewa.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Dalam
menghadapi tahun baru hijriyah atau
bulan Muharram, sebagian kaum
muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut
begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak
menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan
atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah
semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya.
Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru
Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal
ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah
kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“
Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] I
nilah
perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan
semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu
kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]
Sejauh yang
kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut
tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian
kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang
tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau
jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah
Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga
tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a
ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
Yang
lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak
berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut
telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]
Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian
orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan
awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan
akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
“Barang
siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa
sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah
menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang
dengan puasa. Dan Allah ta'ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya
selama 50 tahun.”
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
- Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
- Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
- Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]
Kesimpulannya
hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah
hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga
tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena
haditsnya jelas-jelas lemah.
Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan
tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir
jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu
dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau
membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama
sesudahnya.
Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin
menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal
perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir).
Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]
Penutup
Menyambut
tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan
memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya
waktu, maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“
Aku
tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya.
Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh
di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]
Hasan Al Bashri mengatakan, “
Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
Semoga
Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah
yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di wisma MTI (secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.
www.rumaysho.com
[1]
Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas, Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H.
[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.
[5] HR. Muslim no. 2812
[6] Lihat
Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[7] Lihat
Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.
[8]
Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H.
[9] T
afsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[10] Idem
[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.
[12] Hasil penelusuran di
http://dorar.net
[13]
HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269)
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no.
1269
[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi
[15]
Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi.
.
.