بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
mzm69 - Keinginan Fauzi Bowo untuk kembali memimpin Jakarta sepertinya pupus sudah. Pada pemilihan gubernur putaran kedua kemarin, Foke yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli kalah dari Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam penghitungan cepat berbagai lembaga survei.Hasil ini memang tak terlalu mengejutkan, karena pada putaran pertama suara pasangan yang diusung Partai Demokrat itu memang berada di bawah Jokowi-Ahok. Namun menarik untuk dilihat faktor apa yang yang membuat Foke kalah. Terlebih Foke berstatus incumbent dan berkoalisi dengan partai-partai besar
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun-Gun Heryanto menilai kekalahan Foke sebagai pertanda jika masyarakat sudah semakin cerdas dalam menentukan pilihan. Warga pun sudah tak lagi mengutamakan memilih karena berdasarkan partai yang mendukung calon tersebut.
Faktor pertama menurut Gun-Gun, kegagalan Foke menjalankan program-program pada periode pertama, lalu direbranding menjelang Pilgub sudah tidak efektif. Masyarakat kata Gun-Gun, justru melihat ini sebagai pencitraan untuk menarik simpati.
Kedua persepsi pemilih yang melihat Foke melakukan satu strategi elitis dengan bloking party justru menjadi blunder. Menurut Gun-Gun, oligarki partai politik yang dibangun Foke cenderung pragmatis dan sangat keropos.
"Stigma di akar rumput semakin kuat, Foke tidak layak dipilih karena cenderung membangun koalisi dengan elit dibanding warga," katanya.
Ketiga figur calon itu sendiri. Sosok Jokowi yang sederhana dan mau turun langsung menemui pemilih menjadi nilai lebih. Meski Foke juga mencoba melakukan itu, menurut Gun-Gun, justru terkesan tidak natural karena waktunya terlalu singkat. Seharusnya hal seperti itu sudah dilakukan Foke saat tahun ketiga memerintah di DKI.
"Masyarakat sudah rasional mengidentifikasi figur yang punya kekuatan humanistik. Masyarakat juga merindukan sosok yang mau turun langsung," ujarnya.
Keempat Gun-Gun menilai maraknya isu SARA yang dihembuskan pihak-pihak tak bertanggung jawab. Meski mengarah pada Jokowi dan Ahok, namun hal ini justru menarik simpati dari masyarakat, khusus kalangan menengah ke atas. Dan terakhir dipilihnya Nachrowi sebagai Wagub justru menjadi blunder buat Foke.
"Nachrowi dipilih agar tak ada matahari kembar, itu blunder. Sebagai militer, dia tidak smart. Nara bukan tidak pintar dari sudut intelektual, tapi tidak bisa memelihara manajemen konflik," tuturnya.
Selain itu, Gun-Gun menambahkan, pernyataan purnawirawan TNI dengan pangkat Mayjen itu cukup kontroversial sehingga dinilai mencederai demokrasi, salah satunya adalah ketika debat terbuka, Nara sempat menyapa dengan "Haiya Ahok". Meski maksudnya becanda, namun tak etis karena menyinggung kelompok minoritas.
"Itu pernyataan cenderung rasis, berdampak pada turunnya empati publik yang tentu dalam Pilgub menurunkan elektoral pasangan," kata Gun-Gun.
[did]
No comments:
Post a Comment